My Beloved Brother

Standard

“Kak, nonton Harry Potter yuk. Nanti biar aku yang beli tiketnya.” Oke, sore aja biar ibu gak sendirian di rumah malem-malem..
Selesai nonton Harry Potter.
Wah gilee, filmnya keren abiss, feel critanya dapet banget, gak kalah seru daripada baca bukunya. “Sayang film part 2-nya bulan Juli, masih 6 bulan lagi.” Hah, iya ya. Besok film terakhir Harry Potter kita nonton di Paragon aja yuk! “Iya kalo aku masih di semarang, kan tahun depan aku udah kuliah, siapa tahu bener ketrima di Jogja.”

 

Jleebb. Aku tercenung mendengar kalimat terakhir adikku. Aku bergeming di motor, yang keluar dari mulutku hanyalah oh iya, bentar lagi kamu udah kuliah ya, gak kerasa.. “iyalah, masa aku jadi anak kecil terus??” Aku hanya mampu terdiam. Adekku menyadarinya, ia melanjutkan “Udah, besok nonton Harry Potter Part 2-nya di XXI Cinema Jogja aja, jadi kakak yang ke Jogja…” Hmm.

Satu hal yang baru kusadari, adikku sudah dewasa, umurnya sudah 18 tahun sekarang. Meski tubuhnya sudah lebih besar dan lebih tinggi dari aku, namun di mataku, ia masih seorang adik kecil yang selalu mengikuti aku kemanapun aku pergi. Usiaku dengannya hanya berselisih 17 bulan. Dan ia satu-satunya adik laki-lakiku. Kami tumbuh bersama, tak pernah terpisahkan sejak kecil, bersama-sama dengan ibu dan ayah dalam rumah mungil yang sangat nyaman di perumahan ABRI, rumah pemberian kakekku yang mantan Komandan Kodim Banyumas. Ia lahir dengan kepala bundar besarnya, ibu sering menceritakannya dengan kata-kata kepala bunder klewer, seperti buah kelapa, bundar dan besar. Kata ibu, kepala adikku bisa bundar seperti itu karena saat di kandungan, kepala adikku aman terlindungi, posisi kepalanya di atas, kalo kata orang jawa posisi sunsang.

Sejak TK hingga SD, ia lebih senang bermain bersamaku daripada bermain dengan teman-temannya. TK kami berbeda, tapi saat ia harus masuk SD, ia hanya ingin masuk ke sekolah yang sama denganku. Aku masih ingat betul, saat aku bilang pada ibu bahwa aku mau main ke rumah salah satu temanku, adikku selalu ingin minta ikut. Alhasil, adikku sering bermain bersamaku dan teman-temanku. Ia hampir selalu ikut kemanapun aku pergi. Aku dan adikku pun bersama-sama ikut kursus berenang. Satu hal yang kuakui, keberanian adikku lebih besar daripada aku. Saat pertama kali aku memasukkan kepalaku ke dalam air, telingaku berdenging dan aku takut memasukkan kepalaku ke dalam air lagi sejak itu. Namun adikku malah berkata, “Gak penging kok kak (berdenging), nih aku aja berani, ditutup aja telinganya kalo takut penging.” Hmm, aku tak mau kalah, maka keberanianku muncul karenanya. Aku termasuk orang tak mau kalah.

Namun begitu aku duduk di kelas 6, dan ia di kelas 4, ia mulai sering bermain bersama teman-temannya. Kami jadi jarang bermain bersama seperti dulu. Saat itu ia asyik bermain bersama teman-temannya, dan aku asyik belajar mempersiapkan ujian akhir sekolah. Hubungan kami pun tak sedekat dulu, kami bahkan sering bertengkar, tiada hari tanpa pertengkaran. Saat aku mulai menikmati status sebagai pelajar SMP, aku mulai disibukkan dengan kegiatan-kegiatan sekolah. Dan saat adikku lulus, ia menyabet predikat Juara Kelas, meski nilai NEM-nya tak sebagus nilaiku.hehe Ibu sangat senang, ayahpun bangga. Maka sekali lagi, ia ingin melanjutkan SMP-nya di sekolah yang (lagi-lagi) sama denganku. Di sekolah aku sangat menyukai kegiatan-kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler, tapi adikku beda. Ia lebih menyukai kegiatan olahraga, tak suka berorganisasi. Begitulah kami, kami lahir dari ibu yang sama dan tumbuh bersama, namun kami memiliki sifat dan watak yang lumayan berbeda jauh.

Dan saat ia naik kelas 3, ia pindah sekolah ke Semarang, mengikuti ayah yang pindah bekerja di sana. Aku memutuskan untuk melanjutkan SMA-ku di kota asalku bersama ibu. Namun 1 tahun kemudian, ibu menyusul ke Semarang, membawa semua barang-barang kami, dan akhirnya aku pun memutuskan untuk ngekos di samping sekolah. Baru pertama kalinya aku berpisah dengan keluargaku, tanpa ibu yang selalu menemani dan menyediakan makanan kecil sebagai teman belajarku. Aku terombang-ambing, ternyata aku belum siap betul untuk hidup mandiri, prestasiku jeblok, nilai kelulusanku jauh dari yang kubayangkan. Sedang adikku berhasil diterima di SMP negeri terbaik di Semarang, dan ia lulus SMP dengan nilai yang memuaskan, mengantarkannya ke salah satu SMA negeri terfavorit di Semarang. Namun, ia pun ternyata tak siap dengan kehidupan kota besar. Kehidupan hedon ibu kota jawa tengah, dengan teman-teman yang memiliki kehidupan mewah dan melimpah. Didikan ibu dan ayah yang selalu mengajarkan hidup sederhana, membuat adikku merasa minder. Ia berubah menjadi anak yang agak pendiam. Masa remajanya tak seperti aku. Aku yang mimiliki banyak teman, aku yang menikmati indahnya masa-masa remaja, nongkrong di kafe, nonton film di bioskop, dan merasakan indahnya cinta anak remaja yang masih labil. Ia tak merasakan sebagian besarnya, ia sering mengeluh bahwa ia ingin kembali ke kota asal bersama teman-teman lamanya. Tapi semua itu mulai berubah sdikit demi sedikit, saat aku melanjutkan kuliah di Semarang, kembali satu rumah dengan ibu dan ayah.

Meski saat kuliah aku tinggal di kosan dekat kampus, namun saat weekend selalu kusempatkan pulang ke rumah, di sela-sela kesibukan kampus yang hampir menyita seluruh waktuku, termasuk waktuku untuk keluarga di rumah. Aku dan adikku kembali dekat, ia sering banyak bercerita, termasuk curhat tentang masalah dengan pacarnya. Aku sering memberi ia motivasi, karena aku menyadari, potensinya terlalu banyak, lebih besar dibanding aku. Hanya sayangnya ia kelewat malas. Ia sudah meng-underestimate dirinya sendiri. Mungkin karena ayah yang terlalu berorientasi padaku sehingga secara tidak langsung ayah mengingnkan agar adikku bisa sepertiku. Namun sekarang aku tertegun, mendengar cita-citanya, visi hidupnya yang sangat berbeda denganku. Aku menyadari, adikku sudah mulai mengerti arti kedewasaan.

Ia adalah adik yang selalu bisa diandalkan, sebenarnya. Saat mood-nya baik, ia enak diajak ngobrol dan disuruh ini-itu,hehehe 😀 Tapi kalau sedang badmood, ia menjadi adik yang paling menyebalkan. Pernah sewaktu weekend aku pulang ke rumah, ia tak sedetik pun menyapaku sejak aku datang hingga aku pulang kembali ke kosan. Namun, ia teman yang paling nyaman ku ajak jalan-jalan, karena aman pergi berdua bersamanya, tak takut pulang malam-malam. Ia adik yang membanggakan. Ia adik yang mau belajar dari kesalahannya. Ia adik yang sangat mudah mengeluarkan uangnya untuk orang lain, jiwa sosialnya sangat tinggi. Dan ia adik yang sangat sayang pada ibunya….

Kemarin sepulang menonton film Harry Potter, hujan deras mengguyur kami di perjalanan pulang, angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar menambah kengerian perjalanan pulang. Aku hanya mampu beristighfar. Namun, adikku justru mempercepat laju motor, saat aku berteriak mengingatkannya jangan ngebut di hujan deras begini, ia hanya menjawab “Kasihan ibu sendirian di rumah kak…”. Aku bergeming mendengar jawabannya, tak sanggup berkata-kata. Sesampainya di rumah, setelah melepas helm dan jas hujan, masih dengan pakaiannya yang basah kuyup, ia memeluk ibu dengan erat. Meski ibu mungkin tak menyadari arti pelukannya, karena ibu terus berbicara tentang kekhawatirannya pada kami yang pulang dalam keadaan hujan deras bercampur angin kencang dan petir, aku terharu melihat pemandangan yang mungkin tak tertangkap secara kasat mata. Aku melihatnya dengan mata hati, pelukan kasih sayang adikku yang mengkhawatirkan ibunya… 🙂

Hmm, panjang juga aku bercerita. Meski masih satu semester lagi ia berjuang di SMA-nya, namun tak kupungkiri, kini ia sudah dewasa, sebentar lagi ia akan merantau ke kota orang, melanjutkan kuliahnya, bersiap menyongsong cita-citanya, menjadi laki-laki sukses dan membanggakan ibu, yah, dan aku…

Doaku tak pernah putus untukmu, adikku tersayang…
Jadilah dirimu sendiri, dan raihlah cita-citamu, karena aku yakin, KESUKSESAN ITU MILIKMU…

About Hanisa

I'm just an ordinary girl, but with extraordinary skills (amin...) Saya seorang mahasiswi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang... Saya sangat senang berteman dan bersilaturahmi, selamat datang di blog saya, semoga bermanfaat... ^__^

6 responses »

  1. tampaknya adik ku yang satu ini juga makin dewasa saja, apa malah mungkin terlalu dewasa sampai2 suka ngerjain mami nya 😀

    oia,.perkenalkan A.F.Ramadhani itu partner saya (partner in Crime)Loh 😀

  2. mami?!
    wewww…sudah punya anak ternyata dirimu ma.
    😀

    woyyo..perkenalkan saya Partner in Crime-nya Erma, dia yang jadi Crime-nya tapi, saya mah cuma ngeliat dan memberi semangat dari belakang saja.
    hhe..
    ^^v
    *damai lho.

Leave a comment